Rabu, 24 Juni 2015

Suami Lebih Berpihak Pada Pembantu

Pertanyaan Kepada Tabloid Nova oleh B di Kota X,
Saya sudah hampir 2 tahun menikah dnn punya seorang bayi usia 5 bulan. Rasanya saya makin jauh dari bahagia setelah memiliki rumah sendiri, padahal sayalah yang selama ini merengek pada suami dan minta pindah dari rumah mertua. Dalam keadaan punya bayi, mana enak, sih, Bu, kalau bayi kita menangis lalu ipar-ipar memberi kode bahwa mereka tak senang anak kita ribut. dari mula berdehem-dehem, sampai membanting pintu  kamarnya (di sebelah saya) sambil mengomel, mengatakan tak bisa tidur karena ribut. 

Karena tinggal dengan mertua, maka saya tak terlalu ikut campur dengan urusan masakan, dan lain-lain yang terkait dengan pembantu. Saya tak mau cari gara-gara dengan melanggar "batas" kekuasaan mertua perempuan yang amat menikmati perannya di dapur itu. Masaknya memang enak-enak, dan ia adalah ibu rumah tangga jempolan. susahnya ia amat ingin saya bisa seperti dia dalam menyediakan keperluan anaknya yang sekarang jadi suami saya.

Padahal, saya tidak dididik untuk jadi "ratu dapur" oleh ibu saya, karena beliau berpendapat, perempuan harus pandai agar bisa mandiri, secara ekonomi. Nyatanya, walau sarjana dan pernah bekerja dengan penghasilan bagus, kini suami melarang saya bekerja, karena ia melihat tak ada alasan bagi saya untuk bekerja. Uang sudah cukup, dan ada anak yang harus diurus pula. 

Bu Rieny, jangan mengira saya ini kawin tanpa masalah. Bu. Suami adalah keturunan asing, sehingga waktu menikah, saya dapat tentangan hebat dari keluarga saya, demikian pula dari pihaknya. Apalagi, ia kemudian juga memeluk agama yang saya peluk. Sejauh ini, sebenarnya kalau masalah cinta, rasanya tak ada masalah. Perhatian dan kasih sayang suami saya rasa oke-oke saja. tapi di rumah, saya, kok, tidak bisa merasa seperti yang punya rumah. Pembantu, Bu! 

Kami dibekali pembantu oleh mertua untuk membantu agar saya tak repot "judulnya". Manis, ya, Bu? Tapi, kenyataannya malah jauh dari harapan sebelumnya. Ia tak lebih dari mata-mata mertua, yang rajin menelepon dan menanyakan anaknya dimasakkan apa hari ini oleh istrinya, dan serangkaian pertanyaan lain yang membuat saya tak nyaman. Suami tak kurang-kurang sumbangannya pada situasi ini, karena setiap kali saya memcoba membuat masakan, ia selalu mengatakan masakan saya tak enak, tak sesuai dengan seleranya, dan lebih baik pembantu mama saja yang masak.

Terakhir, yang membuat saya naik pitam adalah ketika kami sedang makan dan pembantu setengah mengadu pada suami tentang anak yang  menangis terus, dan sekilas ia katakan bahwa saya ini bukan hanya tak cakap di dapur, tapi rupanya juga tak terlalu sayang pada anak. Saya marah sekali, Bu. Lebih marah lagi pada suami, karena ia malah menyatakan diri untuk berpihak pada pembantu. bagaimana tidak, ketika saya mengusirnya, suami mengatakan tidak! ia katakan, bagaimana saya bisa menyelenggarakan rumah tangga kalau mengurus anak tanpa masak saja saya tak bisa. 

Bayangkan, Bu Rieny, posisi saya rupanya seperti itu saja di hadapan suami. Saya juga tahu pasti bahwa pembantu sudah menelepon mertua, dan rupanya juga mendapat dukungan untuk bertahan saja. alangkah tidak nyamannya saya, kalau setiap pagi harus berinteraksi dengannya, melihat gayanya yang seakan-akan berkata, "Siapa, sih, kamu itu? Beruntung  saja kamu dikawini oleh suamimu!"

Sudah 3 bulan ini terjadi, dan saya sungguh seperti hidup di neraka, Bu, tak mungkin meminta tolong keluarga saya. Orang tua sudah meninggal semua, adik-adik saya pun sibuk dan tidak tinggal sekota. Yang bisa saya jadikan penghiburan, kalau suami melihat saya tidak macam-macam dengan si pembantu, ia pun baik pada saya. Lalu, pada anak, si pembantu juga tampak telaten dan syang. Itu saja, bu, saya mencoba merasionalkan diri saat berhubungan dengannya. 

Tapi, Bu, membayangkan saya "kalah" dengannya, sakit sekali hari ini. Apa yang harus saya lakukan, ya, Bu, mengeluarkannya tak mungkin, demikian selalu mengatakan tak mau berdiskusi kalau tentang Iyem, karena katanya ia kenal Iyem jauh lebih dulu sebelum kenal saya. Memang, ia sudah bekerja lebih dari 10 tahun pada keluarga suami. Bu. Bagaimana saya bisa keluar dari masalah ini, Bu? Terima kasih.

Jawaban Pengelola Rubrik Nova - Ibu Rieny,
Apa yang menjadi masalah Anda sekilas tampak remeh, tapi saya yakin memang bisa jadi makin serius dan menjalar kepada kerukunan keluarga, kalau Anda tak segera menyelesaikannya. Karena suami bisa saja lalu merasa, kok, susah sekali, sih, mendapat ketenangan, padahal sudah punya rumah sendiri, dan ada pula anak dan istri. Perbedaan pandangan tentang berat ringannya masalah adalah salah saru kendala yang menyebabkan permasalahan dalam sebuah perkawinan lalu sukar diselesaikan disini, tampak benar perbedaan antara perempuan dan lelaki dalam melihat dan menghayati permasalahan.

Suami, jelas berpikir praktis, dengan menjadikan HANYA dirinya sebagai acuan, bukan? Artinya, kalau kenyamanan saya terjamin, mestinya istriku tak perlu punya masalah. Makan enak, anak bisa terurus baik, dan keinginan istri juga sudah dituruti, punya rumah sendiri. Kalau kemudian masalah masih saja ada, ini namanya mengada-ada, alias reseh.

Istri, wah, barangkali air mata yang keluar sudah hampir berubah menjadi air mata "darah", karena  bermuatan emosi yang berat sekali. dari mulai perasaan bahwa Anda KALAH oleh pembantu, sampai adanya konspirasi jahat alias persengkokolan antara mertua, nun di rumahnya sana, dengan agen atau mata-matanya di rumah Anda. Dari mulai perasaan bahwa suami lebih berpihak pada pembantu, sampai betapa sendiriannya Anda di dunia ini, karena Anda tak berdaya!

Nah, memang inilah sebenarnya dua masalah utama Anda, Bu. Satu, Anda tak berhasil membuat suami mampu melihat masalah dari sudut pandang Anda, dan demikian pula sebaliknya, suami juga tak merasa harus repot-repot membuat Anda paham akan cara pandangnya terhadap masalah ini. Yang kedua, Anda ingin sekali mengingkari kenyataan situasi saat ini (saya katakan saat ini, karena ini bukanlah suatu situasi yang tak bisa diubah), bahwa pada hal-hal tertentu, memang ada ketergantungan Anda pada pembantu "warisan mertua" itu. Mengenai kontrol jarak jauh mertua, dan pengalaman buruk dengan ipar-ipar dahulu, kita jadikan masalah ikutan sajalah, ya, artinya bukan keberatan utama Anda saat ini, bukan?

Untuk langkah awal, bagaimana kalau Anda juga mencoba untuk memahami bagaiaman suami melihat masalah ini, daripada memaksakan agar suami yang melakukannya terlebih dahulu. Ada konsekuensinya disini, tekan dulu EGO Anda,. Artinya, kalau ada impuls atau keinginan di dalam diri untuk mengatakan. "Mestinya, aku, kan, yang ia dengarkan", atau "Masak, sih, aku dibandingkan dengan si Iyem". Jangan Bu, tapi bayangkan, suami pulang kantor, lapar  dan ingin makan (enak, seenak di rumah ibunya dulu). Kenapa, kok, ia harus "menderita" di rumahnya sendiri, bukan?

Dengan menemukan bahwa ketika istrinya memasak masih tak sesuai dengan seleranya, hemat saya, bagian yang paling sukar dari ini adalah ketika B harus mengakui kenyataan bahwa Iyem memang lebih kompeten dalam masak-memasak.

Tapi, ada "celah" yang sangat baik disini, sebenarnya. Coba diingat-ingat, B, apakah ada pernyataan suami bahwa Anda tidak kompeten sebagai ISTRI? Tidak, bukan? Sementara, Iyem, kan, ada di rumah Anda karena kompetensinya adalah masak-memasak.

Jadi, siapa yang meletakkan Anda dan Iyem untuk diperbandingkan? Justru Anda sendiri, bukan? penyebabnya, bisa banyak sekali. Dari kejengkelan Anda karena Iyem mengingatkan Anda akan ibu mertua, sampai kejengkelan Anda pada diri sendiri yang tak pandai masak!

Nah, celah ini bisa ditutup, kan? tak ada keharusan untuk membandingkan diri dengan Iyem dan tak perlu? Suami tak mengatakan Anda istri yang buruk, kok, dengan ketidakmahiran Anda dalam masak memasak. Mengapa tidak membiarkan saja Iyem berkerajaan di dapur? Dengan demikian, ia tak perlu memasuki wilayah Anda, bukan?

Kalau tekanan-tekanan dari Anda berkurang, apalagi disertai kesediaan yang tulus dari Anda uintuk mencoba melakukan rekonsiliasi alias berbaik-baik dengannya, bukan tidak mungkin, pada suatu hari Anda akan menemukan bahwa Iyem justru menjadi rekan tangguh Anda!

Saya sudah lama sekali merasa punya pembantu, Bu B. Karena dua orang di rumah saya itu, yang sudah ikut sejak anak saya yang kini mahasiswa berusia 5 bulan, sudah lama saya anggap sebagai bagian dari rumah dan keluarga saya. Tak terbayangkan oleh saya, apa yang saya bisa lakukan tanpa mereka. dan B mau tahu tidak resepnya? menjadikan mereka sebagai MITRA terpercaya saya di rumah, dan tidak masuk ke dalam wilayah yang jadi kompetensinya. saya mah sudah lama berhenti mencoba masak-memasak, B. Jelas, anak-anak dan suami lebih suka masakan Sri, daripada saya. Dan,  yang saya dapatkan, bukan hanya bantuan menyelesaikan masalah rumah tangga B, melainkan juga sosok yang mengerti saya, bahkan jauh lebih mengerti ketimbang saudara kandung sendiri!

Logis, bukan, karena mereka bersama-sama saya sekian puluh tahun. Dan saya yakin, pola hubungan kami juga sudah bukan karena pekerjaan lagi, saya yakin mereka sayang dan peduli pada saya. buktinya, walau ada keputusan-keputusan dalam hidup yang saya buat, yang mereka juga tak begitu sukai, mereka tetap" mendampingi" saya, dan tidak meninggakan saya sekeluarga. beruntung sekali, ya, saya ini?

Tentu B, dan B juga pasti bisa seperti saya, kalau mampu menjadikan Iyem sebagai mitra dan bukan malah musuh di rumah sendiri. Katakan pada diri bahwa Anda punya otoritas di rumah Anda, dan atas izin Andalah Iyem boleh berkuasa di dapur. Jangan musuhi, tapi gunakan "kekuasaan" Anda untuk mengatakan padanya," Hari ini masak ini, ya, yem, Bapak suka, lo, masakannya yang itu!" bukankah komando tetap di tangan Anda? Atau, tanya pada suami di depan Iyem, "Mau makan apa hari ini, biar Iyem menyiapkannya untuk Abang."

Nah, setelah hubungan Anda membaik dengannya, percaya deh, ia juga akan kehilangan "kesenangan" mengadu pada mertua, wong ia sudah dapat, kok, apa yang ia butuhkan. Apa itu? Perasaan bahwa ia diterima, diakui kemampuannya, dan lebih penting lagi, dibutuhkan!

Tahap berikutnya, baru Anda perkenalkan pada Iyem, batas-batas mana yang tak boleh ia langgar. Misalnya, saat makan, Anda memang sebaiknya hanya berdua suami saja. Masak, sih, meladeni makan juga butuh asisten? Jadikanlah saat makan sebagai bagian dari kehidupan pribadi Anda. Di saat awal, bisa dengan memintanya menjaga anak, sementara Anda makan, Baik juga kalau pelan-pelan. Anda meningkatkan kompetensi Anda dalam masak memasak. Hati-hati, mulailah dengan jenis makanan yang lain dari yang disajikan Iyem. Kalau ia bisa memasak Chinese Food, cari keahlian di masakan Eropa, misalnya. Sesekali, demonstrasikan ini, artinya Anda juga membiasakan suami untuk mencoba selera yang lain, bukan?

Yang paling penting, SUASANA HATI itu lo, Non, yang harus diubah. Iyem bukanlah saingan yang harus dikalahkan, tapi mitra yang harus dipelihara perasaannya agar ia juga mau mengakui bahwa Ratu Rumah Tangga adalah Anda, dan bukan mertua Anda yang nun jauh disana.

Kalau saya terlihat seakan tak memihak Anda sama sekali, bukan maksud saya, lo.  Saya cuma ingin mengingatkan Anda bahwa lingkungan tak bisa Anda ubah, apalagi Anda kuasai sepenuhnya. Yang Anda miliki hanyalah diri Anda. Karena itu, hanya ini yang memang bisa Anda manipulasi habis-habisan untuk membuat Anda bisa "survive" menghadapi tantangan hidup. Selamat memulai strategi baru, jangan pesimis, ya, B, karena Anda punya banyak modal dasar, kok, sebenarnya. cinta Anda dan suami, anak yang lucu, serta sebenarnya Iyem yang memang pandai masak dan sayang anak, bukan? Salam!.

Jadi Saksi Kunci, Pembantu Jessica Masuk Perlindungan Saksi Polisi

PENYIDIK Polda Metro Jaya hingga kini masih mencari penyebab pasti mengapa Jessica Kemala Wongso membuang celana jinsnya, celana yang dip...