Selasa, 31 Maret 2015

Jumilah, PRT & Tidak Bisa Baca Tulis tapi Mendirikan Sekolah

Jumilah (30) perempuan Kampung Duduk Bawah, Desa Batu Layar, Nusa Tengggara Barat (NTB) tidak bisa baca tulis dan hitung-hitungan. Profesinya pun PRT. Setelah belajar otodidak, ia mengajar anak-anak belajar calistung di alam bebas. Berkat Jumilah, sekolah permanen sudah berdiri namun anak-anak didiknya seusai sekolah tetap belajar lagi bersamanya. Demikian pula Jumilah, tetap mengajar seusai bekerja di rumah majikannya.

Pada tahun 1987, Jumilah masuk Sekolah Dasar (SD) No. 5 Batu Layar. Seperti murid lain, ia rajin ke sekolah meskipun jarak antara rumah dan sekolahnya, cukup jauh dan melalui jalan setapak di pinggir kali.

Dari kampung Duduk Bawah, saat itu hanya tiga orang yang disekolahkan orang tuanya. Itu pun Jumilah sendiri yang perempuan. Menjelang kenaikan kelas, Kepala Sekolah minta sumbangan Rp 4.000 untuk membangun tembok halaman sekolah. Orang tuanya menolak memberikan lantaran tak memilik uang untuk menyumbang. Jumilah pun disuruh berhenti sekolah.

Sejak itu, anak bungsu dari 7 bersaudara pasangan Haris dan Nurisah itu membantu ibu dan ayahnya, mencari kayu bakar di hutan tak jauh dari kampungnya. dua tahun berhenti sekolah, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Majikannya sering memarahi karena Jumilah sering tekor jika disuruhnya berbelanja ke pasar. Ia sadar, ia tak bisa berhitung. Juga  membaca dan menulis. Akibat seringnya melakukan kesalahan, maka Jumilah diberhentikan dari pekerjaannya.

Jumilah pun kembali masuk hutan membantu ibunya mencari kayu bakar untuk menyambung hidup. Tak terasa pada tahun 1995, Jumilah sudah beranjak menjadi gadis. Dan pada tahun itu juga ia disunting Ishak (kini 34 tahun)) pemuda pujaannya. sejak itu ia hidup sebagai ibu rumah tangga. Dari perkawinannya dengan Ishak, Jumilah dikaruniai 3 anak. Yang sulung kini sudah duduk di kelas XII SMA. Adiknya, SMP kelas VIII dan si bungsu baru 2 tahun.

PELAJARI BACA TULIS SAAT ANAK BELAJAR
Kisah hidup Jumilah menjadi menarik lantaran ia memendam semangat untuk belajar. Kendati sudah tidak muda lagi. Maka ketika anak sulungnya duduk di kelas II SD, diam-diam ia mengikuti anaknya mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Bahkan menghafal abjad dari A ke Z, ia pelajari dari anaknya. Sampai suatu ketika, anaknya sebel pada ibunya. "Ibu belajar begini-begini sudah ketinggalan zaman. Orang tua tidak usah mengikuti pelajaran anak-anak," kata anaknya yang ditirukan Jumilah dengan tersenyum geli mengingatnya.

Hingga anak sulungnya kelas V SD. Jumilah sudah lancar membaca dan menulis. Bahkan berhitung pun sudah bisa. Walaupun hitungan sederhana. Lalu timbullah niatnya untuk berbagi rasa dengan ibu-ibu dan anak-anak yang tidak sekolah di lingkungan Dusun Duduk Bawah itu. Dusun yang berpenduduk 120 KK (sekitar 335 jiwa) itu, 90 persen lebih tidak tersentuh pendidikan. Sementara orang tuanya total buta huruf. Kecuali Kepala Kampung, itu pun tidak tamat SD, katanya..

Dusun Duduk Bawah adalah kampung yang diapit Gunung Duduk dan Gunung Batu Bolong. sekitar 1 kilometer dari desa adalah areal kawasan wisata dunia, pantai Senggigi. Maka, orang tak akan menyangka, ada kampung terbelakang di balik glamor kehidupan malam di kawasan tersebut. Bahkan unbtuk baca tulis pun, bagi wargha di Dusun Duduk Bawah itu, bak minyak dengan air. Kondisi itulah yang menyemangati Jumilah. Tergerak hatinya untuk membimbing anak-anak tetangga usia sekolah di kampung itu, sekadar untuk bisa membaca, menulis dan berhitung saja.

MENGAJAK ANAK-ANAK BELAJAR DI ALAM
Terdorong oleh niat luhurnya itu, Jumilah akhirnya mengajar ala kadarnya. Padahal dia sendiri hanya bisa hafal abjad, membaca serta menulis nama-nama pohon, binatang dan alam lainnya. Selain mengajarkan calistung itu, Jumilah juga mengajarkan menggambar. Dari menggambar pohon kelapa, ia uraikan kegunaannya. Misalnya, pohon kelapa bisa tumbuh jika ditanam dan dipelihara. Kemudian manfaat buah kelapa, sabutnya jadi apa. Tempurungnya jadi apa. Isinya bisa dibuat apa dan seterusnya. Dari situlah Jumnilah menanamkan kesadaran siswa yang awalnya berjumlah 40 anak untuk mau tahu dan mau bisa.

Lokasi belajarnya pun tidak seperti sekolah pada umumnya. Jumilah mengajak muridnya di kebun atau sore hari di pinggiran hutan. Mereka belajar menulis nama daun-daunan dan pohon-pohonan. Lalu mereka kelompokkan sesuai jenisnya, selanjutnya dihitung dan jumlahnya berapa.

Setiap hari sehabis memasak untuk keluarga, Jumilah mengajari murid-muridnya tanpa imbalan apa-apa. Ibu tiga anak ini, menamakan muridnya "Murid Alam." Inspirasinya dari alam. Tahunya juga dari alam. Karena itu mereka sebut, alam adalah guru kami, katanya.

"Tidak ada kata terlambat kalau untuk belajar. Anak-anak saya bimbing belajar sambil mengenal alam. Alam yang luas ini, guru kita. Di balik tumbuhnya pohon-pohon, di situ ada ilmu yang diselipkan Tuhan. Maka itu yang saya tanamkan kepada anak-anak dusun ini. Agar mereka kelak tidak saja pintar, tapi juga sadar bahwa keberadaan alam, merupakan pelengkap kehidupan kita. Tanpa alam yang subur, manusia akan gersang. Dengan begitu, kita sadar, bahwa merusak alam sama dengan membunuh anak-anak di belakang hari", papar Jumilah.

DIBANGUN SEKOLAH
Pucuk dicinta ulam tiba, kata pepatah. Pada tahun 2003 masuklah Yayasan Tunas Alam Indonesia "Santai" sebuah LSM yang bergerak di bidang peningkatan pemberdayaan masyarakat. Ketika itu, murid-murid alam ini sedang giat-giatnya belajr calistung dan menggambar. LSM Santai lalau memfasilitasinya utnuk lebih berdaya guna dan mendapat perhatian kelangan berwenang. Santai juga memberikan bantuan alat tulis, buku gambar dan lain, bahkan termasuk tenaga pengajar. Kini kelompok belajar Jumilah bernama "Kahuripan." Berasal dari kata "urip" artinya hidup. Jadi Kahuripan dimaknai sebagai kehidupan bersama.

Sejak yayasan masuk Dusun Duduk Bawah, obyek sasaran belajarnya tidak saja anak-anak usia sekolah. Tapi orang tua yang memang rata-rata buta huruf. Dari lembaga itu Jumilah belajar banyak tentang manajemen dan organisasi. Di samping untuk belajar membuat laporan dan lainnya. "Saya belajar dan belajar terus, Pak," katanya.

Sumber dari majalah Kartini   

Kamis, 12 Maret 2015

NEGARA BELUM LINDUNGI PEKERJA RUMAH TANGGA

Unjuk rasa pekerja rumah tangga dalam rangka memperingati Hari Peremapuan Internasiosnal di Jakarta, Mingga (8/3). Dalam aksinya, mereka menuntut pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. 
 
JAKARTA, KOMPAS -  Negara, dalam hal ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, dianggap belum melindungi pekerja rumah tangga. Selain belum meratifikasi Konvensi Organisasi Buruh Internasional 189 tentang Kerja Layak, pemerintah juga tidak menjadikan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional 2015 - 2019.

"Selama ini, nasib pekerja rumah tangga (PRT) ditentukan oleh majikan, bukan negara, "kata Lita Anggraini selaku Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT, saat jumpa pers "Peluncuran Rally 100 Perempuan Mogok Makan untuk PRT dan Peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret", di Jakarta, Sabtu (7/3).

Terhitung sejak Sabtu, 125 orang telah mendaftar untuk mengikuti aksi mogok makan yang dilakukan oleh sekitar 30 lembaga yang tergabung dalam JALA PRT dan Komite Aksi Perempuan.Lita sendiri mogok makan sejak 16 Februari lalu dan berat badannya turun 7 kilogram. Mereka menuntut Rancangan Undang-Undang Pelindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) dan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) 189 diratifikasi.

"Kami akan melaporkan kepada dewan HAM PBB jika konvensi itu tidak diratifikasi," ucap Komisioner Komnas Perempuan Magdalena Sitorus.

Presiden Susilo Bambang Yudhyono pernah berjanji akan menjadikan Konvensi ILO 189 sebagai acuan peraturan perundang-undangan tentang perlindungan PRT saat berpidato di konvensi ILO tahun 2011, Geneva, Swiss. Hingga kini, konvensi itu belum diratifikasi.

Profesi pekerja rumah tangga belum memperoleh pengakuan dan penghargaan seperti profesi lainnya karena wilayahg kerjanya domestik, atau di dalam rumah tangga. Akibatnya, mereka belum mendapat perlindungan hukum sehingga rentan eksploitasi. 

Tidak hanya di dalam negeri, PRT migran di luar negeri juga belum mendapat jaminan kerja layak. "Jika di dalam negeri saja PRT tak dilindungi, bagaimana yang di luar negeri?" ujar Zaenab, anggota Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI).

Zaenab, misalnya, menerima lebih dari 2.200 pengaduan dari para pekerja rumah tangga di luar negeri. Selama ini, PRT mengalami kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi. JALA mencatat, jumlah kekerasan sepanjang 2012 mencapai 327 kasus dan naik menjadi 336 kasus pada 2013. Selama 2014, terdapat 408 kasus. Sebanyak 75 persen, kasus kekerasan fisik 'macet' di kepolisian.

Menunggu 11 tahun
Sudah 11 tahun sejak RUU PPRT diusulkan oleh masyarakat sipil pada 2004. RUU tersebut berisi, antara lain tentang pengaturan upah layak, hak untuk berorganisasi, hak mendapatkan libur mingguan dan tahunan, serta mendapatkan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja.

RUU PPRT dapat menjadi payung hukum untuk melindungi para pekerja itu. Namun, RUU itu gagal masuk prioritas Prolegnas. 

Seruan serupa juga sampaikan Gerakan Perempuan Indonesia Beragam pada jumpa pers, Jumat (6/3), untuk memperingati Hari Perempuan Internasional 2015. "Masyarakat tahu sebetulnya bahwa mereka membutuhkan pekerja rumah tangga dan keberadaan pekerja rumah tangga sangat penting. Namun mereka akan terganggu jika jam kerja dan hak-hak lain pekerja diatur karena itu artinya  kekuasaan majikan bisa berkurang," kata Dian Kartikasari dari Koalisi Perempuan Indonesia. (B05/LUK) 

RUU PRT BELUM JADI PRIORITAS

Perlindungan bagi pekerja di sektor informal masih minim. Padahal, jumlah mereka cukup besar.

RANCANGAN Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PRT) yang sudah masuk daftar Program Legislasi Nasional  (Prolegnas) 2015 masih sulit untuk segera disahkan parlemen. Beberapa hal menjadi alasan.

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari menilai peluang RUU itu disahkan tahun ini amat kecil, Jika berkaca dari pengalaman sebelumnya yang membolehkan setiap komisi di DPR hanya satu tahun membahas UU.

"Sepertinya kecil untuk dibahas hingga akhir tahun ini. apalagi, saya melihat kurangnya prioritas di dalam RUU ini. Maka dari itu, dalam Prolegnas nanti saya kira tidak sampai 50% RUU akan dibahas," ujar Dian saat dimintai keterangan di Jakarta, kemarin.

Lebih jauh ia juga menilai apabila RUU itu disahkan, pemerintah akan mengalami kesulitan dalam mengawasi penerapannya lantaran cakupan RUU yang terlalu spesifik hingga ke rumah-rumah.

Dian menambahkan, kunci keberhasilan pemerintah nanitnya terletak pada komunitas-komunitas masyarakat, termasuk RT hingga RW di setiap daerah. "Kalau cuma pemerintah yang bekerja sendiri berat sekali. Nggak mungkin kan pemeriksaan dari rumah ke rumah setiap hari," katanya.  

Meski demikian, ia berpendapat secara keseluruhan RUU itu memiliki daya pelindungan yang kuat bagi PRT. Karena itu, Dian meminta agar diselenggarakan pendidikan dan penyuluhan bagi masyarakat untuk memahami peraturan serta mekanisme terhadap RUU tersebut.  

"Yang paling penting, pemerintah harus membuat sebuah kelembagaan yang dapat menegakkan peraturan dalam RUU tersebut."

Di tempat terpisah, anggota Komisi IX DPR Nihayatul Wafiroh menyatakan pihaknya sedang memperjuangkan RUU itu agar dapat segera disahkan. "Saya tidak tahu persis kapan, tapi kami akan berusaha agar RUU ini bisa masuk ke short list Prolegnas 2016," ujarnya.

Perlindungan minim
Keberadaan PRT tampaknya masih dipandang sebelah mata oleh pemerintah dan wakil rakyat yang duduk di parlemen. Terbukti hingga saat ini RUU PRT yang telah disusun sejak 2004 itu belum menjadi prioritas untuk disahkan.  

Padahal UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menegaskan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sebaliknya, perlindungan bagi pekerja di sektor informal ini masih minim.

Data KPI menunjukkan, mayoritas perempuan berusia 15 - 35 tahun dari 917 desa di pelosok Tanah Air memilih untuk bekerja di kota-kota besar menjadi PRT. Artinya, jumlah mereka cukup banyak.  

"Diakui atau tidak, PRT memberikan sumbangan besar bagi jalannya roda pembangunan baik langsung maupun tidak. Tapi ironis, hal itu tidak diimbangi dengan perlindungan dan keamanan bagi mereka," kata Dian di sela peringatan Hari Perempuan Internasional di Jakarta, pekan lalu.

KPI juga menilai PRT rentan akan kekerasan, baik secar fisik, psikis, seksual, ekonomi, maupun sosial. Bahkan, akses komunikasi kepada sanak keluarga mereka pun sangat terbatas. Sayangnya, peraturan yang dibuat pemerintah, khususnya UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, tidak mencakup perlindungan bagi PRT. (Mut/S-3)

Richaldo Y Hariandja
richaldo@mediaindonesia.com

Jadi Saksi Kunci, Pembantu Jessica Masuk Perlindungan Saksi Polisi

PENYIDIK Polda Metro Jaya hingga kini masih mencari penyebab pasti mengapa Jessica Kemala Wongso membuang celana jinsnya, celana yang dip...