Jumilah (30) perempuan Kampung Duduk Bawah, Desa Batu Layar, Nusa Tengggara Barat (NTB) tidak bisa baca tulis dan hitung-hitungan. Profesinya pun PRT. Setelah belajar otodidak, ia mengajar anak-anak belajar calistung di alam bebas. Berkat Jumilah, sekolah permanen sudah berdiri namun anak-anak didiknya seusai sekolah tetap belajar lagi bersamanya. Demikian pula Jumilah, tetap mengajar seusai bekerja di rumah majikannya.
Pada tahun 1987, Jumilah masuk Sekolah Dasar (SD) No. 5 Batu Layar. Seperti murid lain, ia rajin ke sekolah meskipun jarak antara rumah dan sekolahnya, cukup jauh dan melalui jalan setapak di pinggir kali.
Dari kampung Duduk Bawah, saat itu hanya tiga orang yang disekolahkan orang tuanya. Itu pun Jumilah sendiri yang perempuan. Menjelang kenaikan kelas, Kepala Sekolah minta sumbangan Rp 4.000 untuk membangun tembok halaman sekolah. Orang tuanya menolak memberikan lantaran tak memilik uang untuk menyumbang. Jumilah pun disuruh berhenti sekolah.
Sejak itu, anak bungsu dari 7 bersaudara pasangan Haris dan Nurisah itu membantu ibu dan ayahnya, mencari kayu bakar di hutan tak jauh dari kampungnya. dua tahun berhenti sekolah, ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga (PRT). Majikannya sering memarahi karena Jumilah sering tekor jika disuruhnya berbelanja ke pasar. Ia sadar, ia tak bisa berhitung. Juga membaca dan menulis. Akibat seringnya melakukan kesalahan, maka Jumilah diberhentikan dari pekerjaannya.
Jumilah pun kembali masuk hutan membantu ibunya mencari kayu bakar untuk menyambung hidup. Tak terasa pada tahun 1995, Jumilah sudah beranjak menjadi gadis. Dan pada tahun itu juga ia disunting Ishak (kini 34 tahun)) pemuda pujaannya. sejak itu ia hidup sebagai ibu rumah tangga. Dari perkawinannya dengan Ishak, Jumilah dikaruniai 3 anak. Yang sulung kini sudah duduk di kelas XII SMA. Adiknya, SMP kelas VIII dan si bungsu baru 2 tahun.
PELAJARI BACA TULIS SAAT ANAK BELAJAR
Kisah hidup Jumilah menjadi menarik lantaran ia memendam semangat untuk belajar. Kendati sudah tidak muda lagi. Maka ketika anak sulungnya duduk di kelas II SD, diam-diam ia mengikuti anaknya mengerjakan PR (Pekerjaan Rumah). Bahkan menghafal abjad dari A ke Z, ia pelajari dari anaknya. Sampai suatu ketika, anaknya sebel pada ibunya. "Ibu belajar begini-begini sudah ketinggalan zaman. Orang tua tidak usah mengikuti pelajaran anak-anak," kata anaknya yang ditirukan Jumilah dengan tersenyum geli mengingatnya.
Hingga anak sulungnya kelas V SD. Jumilah sudah lancar membaca dan menulis. Bahkan berhitung pun sudah bisa. Walaupun hitungan sederhana. Lalu timbullah niatnya untuk berbagi rasa dengan ibu-ibu dan anak-anak yang tidak sekolah di lingkungan Dusun Duduk Bawah itu. Dusun yang berpenduduk 120 KK (sekitar 335 jiwa) itu, 90 persen lebih tidak tersentuh pendidikan. Sementara orang tuanya total buta huruf. Kecuali Kepala Kampung, itu pun tidak tamat SD, katanya..
Dusun Duduk Bawah adalah kampung yang diapit Gunung Duduk dan Gunung Batu Bolong. sekitar 1 kilometer dari desa adalah areal kawasan wisata dunia, pantai Senggigi. Maka, orang tak akan menyangka, ada kampung terbelakang di balik glamor kehidupan malam di kawasan tersebut. Bahkan unbtuk baca tulis pun, bagi wargha di Dusun Duduk Bawah itu, bak minyak dengan air. Kondisi itulah yang menyemangati Jumilah. Tergerak hatinya untuk membimbing anak-anak tetangga usia sekolah di kampung itu, sekadar untuk bisa membaca, menulis dan berhitung saja.
MENGAJAK ANAK-ANAK BELAJAR DI ALAM
Terdorong oleh niat luhurnya itu, Jumilah akhirnya mengajar ala kadarnya. Padahal dia sendiri hanya bisa hafal abjad, membaca serta menulis nama-nama pohon, binatang dan alam lainnya. Selain mengajarkan calistung itu, Jumilah juga mengajarkan menggambar. Dari menggambar pohon kelapa, ia uraikan kegunaannya. Misalnya, pohon kelapa bisa tumbuh jika ditanam dan dipelihara. Kemudian manfaat buah kelapa, sabutnya jadi apa. Tempurungnya jadi apa. Isinya bisa dibuat apa dan seterusnya. Dari situlah Jumnilah menanamkan kesadaran siswa yang awalnya berjumlah 40 anak untuk mau tahu dan mau bisa.
Lokasi belajarnya pun tidak seperti sekolah pada umumnya. Jumilah mengajak muridnya di kebun atau sore hari di pinggiran hutan. Mereka belajar menulis nama daun-daunan dan pohon-pohonan. Lalu mereka kelompokkan sesuai jenisnya, selanjutnya dihitung dan jumlahnya berapa.
Setiap hari sehabis memasak untuk keluarga, Jumilah mengajari murid-muridnya tanpa imbalan apa-apa. Ibu tiga anak ini, menamakan muridnya "Murid Alam." Inspirasinya dari alam. Tahunya juga dari alam. Karena itu mereka sebut, alam adalah guru kami, katanya.
"Tidak ada kata terlambat kalau untuk belajar. Anak-anak saya bimbing belajar sambil mengenal alam. Alam yang luas ini, guru kita. Di balik tumbuhnya pohon-pohon, di situ ada ilmu yang diselipkan Tuhan. Maka itu yang saya tanamkan kepada anak-anak dusun ini. Agar mereka kelak tidak saja pintar, tapi juga sadar bahwa keberadaan alam, merupakan pelengkap kehidupan kita. Tanpa alam yang subur, manusia akan gersang. Dengan begitu, kita sadar, bahwa merusak alam sama dengan membunuh anak-anak di belakang hari", papar Jumilah.
DIBANGUN SEKOLAH
Pucuk dicinta ulam tiba, kata pepatah. Pada tahun 2003 masuklah Yayasan Tunas Alam Indonesia "Santai" sebuah LSM yang bergerak di bidang peningkatan pemberdayaan masyarakat. Ketika itu, murid-murid alam ini sedang giat-giatnya belajr calistung dan menggambar. LSM Santai lalau memfasilitasinya utnuk lebih berdaya guna dan mendapat perhatian kelangan berwenang. Santai juga memberikan bantuan alat tulis, buku gambar dan lain, bahkan termasuk tenaga pengajar. Kini kelompok belajar Jumilah bernama "Kahuripan." Berasal dari kata "urip" artinya hidup. Jadi Kahuripan dimaknai sebagai kehidupan bersama.
Sejak yayasan masuk Dusun Duduk Bawah, obyek sasaran belajarnya tidak saja anak-anak usia sekolah. Tapi orang tua yang memang rata-rata buta huruf. Dari lembaga itu Jumilah belajar banyak tentang manajemen dan organisasi. Di samping untuk belajar membuat laporan dan lainnya. "Saya belajar dan belajar terus, Pak," katanya.
Sumber dari majalah Kartini