Sabtu, 21 Desember 2013

MENGHAPUS STIGMA PEMBANTU RUMAH TANGGA

Yuni Satria Rahayu pantang menyebut istilah pembantu rumah tangga (PRT). Buat dia sebutan yang tepat adalah pekerja rumah tangga (PRT) yang punya jam kerja dan spesifikasi yang jelas. Untuk merayakan Hari Kartini 21 April mendatang, Media Indonesia menampilkan 21 perempuan yang memberi warna pada keberlangsungan semangat Kartini mewarnai zaman. Berikut ialah sosok ke - 4, penggiat hak pekerja. Keberadaannya mengubah stigma, juga mendorong agar pembantu rumah tangga punya jam kerja dan spesifikasi kerja yang jelas.

PEMBANTU rumah tangga (PRT) selalu dicap sebagai kelas paling rendah. Kelompok yang dianggap tidak berpendidikan, keterampilan kurang, tapi tenaganya selalu dikuras hampir 24 jam. Selalu saja orang menganggap pembokat - istilah gaulnya - sebagai budak' di era modern ini. Hal tersebut menjadi pemikiran sekaligus keprihatinan bagi Yuni Satria Rahayu, atau biasa dipanggil Neni, dalam melihat sosok pembantu di Indonesia.

Yuni pun tidak mau menyebut istilah pembantu rumah tangga. "Sebutan tepatnya adalah pekerja rumah tangga, kata Yuni yang sudah memikirkan persoalan pekerja rumah tangga itu sejak 1989. Bersama LSM Rumpun Tjoet Njak Dien Yogjakarta, tempat dia bernaung selama ini, Yuni  mulai bergerak memberikan advokasi kepada PRT. "Karena, masalah KDRT, TKI, dan lainnya sudah ada yang menangani. Di sisi lain, sektor ini belum tersentuh. Selain itu, banyak peristiwa yang saya rekam di ingatan betapa rentan kehidupan seorang PRT," jelas Direktur LSM Tjoet Njak Dien tersebut.

Yuni teringat waktu masih kecil ada seorang pembantu yang dibunuh dan dibuang tidak jauh dari rumahnya. Sebelumnya pembantu itu telah diperkosa. Dari hasil penelusuran polisi, pelaku perkosaan adalah majikan dan anak lelaki majikan. Peristiwa itu terekam kuat di ingatan Yuni. Bahkan saat dia duduk di bangku kuliah, Yuni pun mendapatkan banyak berita tentang kasus penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga.

"Dari situ pun ada pemikiran bahwa PRT itu rentan terhadap kekerasan. Mereka bekerja tidak dilindungi hukum, tidak jelas jam kerjanya, apa yang harus dikerjakan, dan sebagainya". Penyebabnya, PRT memiliki stigma yang sulit dihapus. Mulai dari status sosial, stereotip, dan isu PRT sebagai penggoda rumah tangga, Apalagi hampir 90% PRT di Indonesia adalah perempuan. Pada umumnya perempuan terjun sebagai PRT karena tuntutan ekonomi. Sebagian besar mereka menjadi tulang punggung keluarga.

"Mereka harus merantau dan keluar dari rumahnya. Ironisnya banyak PRT yang harus membiayai sekolah adik-adiknya terutama adik lelaki. Jadi ada cara pandang yang baku di tiap rumah tangga PRT bahwa anak perempuan boleh menjadi PRT sedangkan anak lelaki sekolah sampai tinggi."
Dari hasil kajian yang dilakukan LSM Rumpun Tjoet Njak Dien bersama Universitas Sugijopranoto Semarang dan Universitas Satya Wacana Salatiga pada 1993, dapat ditarik kesimpulan yang bahwa PRT ialah isu perempuan yang sebenarnya. "Dalam profesinya sebagai pekerja rumah tangga, di sana ada isu-isu perempuan yang sebenarnya. Mulai dari sisi ekonomi, pendidikan, sosial, maupun politik, katanya.

Yuni menyontohkan penelitiannya di Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Daerah itu terkenal sebagai penyuplai tenaga pekerja rumah tangga, tapi masyarakat dan pemerintah daerah malu mengakui karena PRT sering dianggap sebagai pekerjaan yang kurang berharga.
"Padahal pembangunan ekonomi Gunung Kidul sebagian besar disumbang para PRT." Atas banyaknya kajian itu, dilakukan advokasi yang merumuskan bahwa pekerja rumah tangga harus memiliki perlindungan hukum. Selain itu, PRT yang masuk dalam sektor kerja informal harus memiliki spesifikasi kerja dan jam kerja yang jelas.

Advokasi dilakukan setelah adanya kajian-kajian, dengan mengadakan seminar, sosialisasi, dari tingkat Kabupaten, kota, sampai ke tingkat nasional.

"Responnya di tingkat nasional masih kurang. Tapi di tingkat kabupaten dan kota cukup positif." Yuni menyebutkan pada Juni 2009 lalu DPRD Yogyakarta telah mengesahkan raperda penyelenggaraan ketenagakerjaan di Kota Yogyakarta. Salah satu pasal di dalamnya mencakup nasib para PRT yang nantinya akan dilindungi secara hukum.
Sayangnya, pasal tersebut dicabut oleh Gubernur DIY pada Januari, dengan alasan perda ketenagakerjaan itu tidak menyangkut tenaga kerja informal. "Tapi gubernur sudah berjanji membuat aturan baru untuk sektor informal ini. Beliau menjanjikan adanya perlindungan hukum bagi PRT. Kalau ini disahkan, Yogyakarta merupakan provinsi pertama di Indonesia yang memiliki UU ketenagakerjaan informal," kata dia.
Adapun di Semarang dan Sragen, upaya memperjuangkan perlindungan hukum bagi PRT masih macet. " Pasalnya masalah PRT justru nyangkut di Undang-Undang Perlindungan Anak," ujar ibu berputra dua itu. Baginya, PRT merupakan salah satu jawaban untuk mengurangi angka pengangguran. Dari data ILO pada 2002 saja, di Indonesia ada 2,5 juta perempuan yang bekerja sebagai PRT, sedangkan PRT anak mencapai 688 ribu.

Di samping itu, profesi sebagai PRT merupakan profesi yang paling gampang. Di tengah gelombang tinggi pengangguran, banyak ibu rumah tangga atau anak perempuan memilih sebagai PRT, atau tukang cuci dan seterika pakaian.

Yuni yakin jumlah PRT akan terus meningkat seiring meningkatnya jumlah pengangguran. Tahun lalu saja jumlah pengangguran mencapai 80 ribu orang. "Pastilah dari 2002 sampai sekarang pengangguran terus melonjak. Kalau saja jumlah tenaga kerja informal ini bisa mendapat perlindungan kerja dan hukum, mereka pun bisa bekerja lebih profesional."

Persoalan di dalam negeri dari sektor pekerja informal ini juga mencerminkan apa yang terjadi di luar negeri. Diakui Yuni yang sekarang sedang menempuh S-3 ilmu politik di Universitas Kebangsaan Malaysia itu, saat ini ada tren yang terjadi di desa-desa. Para calon majikan dari luar negeri seperti Malaysia, Hong Kong, dan Arab Saudi mendatangi langsung calon-calon PRT di desanya lewat perantara TKI yang sudah bekerja di negara-negara tersebut.
"Dari penelusuran di Malaysia, para calon majikan itu mengaku lebih murah ambil langsung ke desa daripada lewat agen. Selisih bisa 5.000 ringgit. Mereka diambil atas dasar kepercayaan, bukan  perjanjian kerja. Nah, di sini betapa rentannya pekerja rumah tangga," tutur ibu dua anak itu.
"Mereka bekerja tidak dilindungi hukum, tidak jelas jam kerjanya, dan apa yang harus dikerjakan."Bila selama ini stigma bahwa PRT itu kelompok orang tidak berpendidikan belum terhapuskan, Yuni telah mempersiapkan pendidikan untuk PRT.
"Di LSM Tjoet Njak Dien itu ada pendidikan komputer dan bahasa Inggris. Suatu kali ada majikan dari luar negeri, mereka bisa  berbahasa Inggris. Mereka juga tidak gagap teknologi," katanya.Pelatihan-pelatihan itu dianggap Yuni wajar. Sebab mendapatkan pendidikan itu hak setiap orang. "Apa PRT tidak boleh mendapatkan pendidikan untuk menjadi pintar? Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Semua itu sudah jelas diatur oleh undang-undang dasar," tegasnya.

Dengan keterampilan khusus seperti bisa berbahasa Inggris dan paham soal teknologi komputer, pikir Yuni, akan banyak berguna apabila sewaktu-waktu para PRT ini memiliki majikan orang asing. Setidaknya mereka paham berkomunikasi.
 
Atas dasar itu menurut Yuni, harusnya setiap majikan memiliki cara pandang yang maju dan menghapus stigma bahwa PRT adalah masyarakat kelas bawah yang tidak boleh pintar. Hal semacam itu yang menjadi pemikiran Yuni saat akan maju dalam pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sleman. "Saya mengangkat isu itu karena di Sleman saja ada 17 ribu lebih PRT, baik yang bekerja di wilayah Yogya dan sekitarnya maupun di luar daerah."
Baginya, meski berprofesi sebagai PRT, perempuan tidak boleh terkungkung dalam kebodohan. Yuni menginginkan suatu saat para PRT bisa mandiri, bukan mengemban profesi itu sampai seumur hidup atau mewariskannya ke anak cucu. (N-4)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jadi Saksi Kunci, Pembantu Jessica Masuk Perlindungan Saksi Polisi

PENYIDIK Polda Metro Jaya hingga kini masih mencari penyebab pasti mengapa Jessica Kemala Wongso membuang celana jinsnya, celana yang dip...