ILUSTRASI sederhana ini bisa terjadi. Seekor kucing meloncat. Ekornya yang lucu menyenggol piring Cina kuno abad 16 di atas meja bergaya Gothik. "Prang...! Meong...! "Piring hiasan berharga belasan juta rupiah itu remuk menjadi berkeping-keping.
Dengan rasa takut, si pembantu membuang semua serpihan piring tadi ke sungai tak jauh dari situ. Dia yakin pemiliknya yang seorang bankir tak akan tahu karena masih ada puluhan piring sejenis koleksinya.
Beres? Nanti dulu! Jika pemilik rumah mewah itu sudah menandatangani Surat Kesepakatan Awal (SKA) dengan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional). Persoalannya bisa berabe. Jika dia tak tahu piring antiknya menghilang satu, sehingga dia tidak melapor kepada sang tuan BPPN, salah salah bankir itu bisa masuk bui karena tuntutan penggelapan.
Sebab, dengan menandatangi SKA, bisa jadi seluruh rumah dan seisinya - tentunya tidak termasuk pembantu tadi - sudah dianggap BPPN menjadi milik negara. Pasalnya, sang bankir yang menempati rumah itu adalah salah satu bankir 38 bank beku kegiatan usaha (BBKU). Dengan begitu, cuma pembantu tadi saja yang tidak disita BPPN.
Tapi, kenapa bankir itu mau menandatangi SKA yang disodorkan BPPN? Dari berkas bocoran SKA yang diperoleh Media, tertera sejumlah klausul yang memang mengindikasikan adaya pemaksaan. Hal itu antara lain menyangkut penentuan jumlah dana penjaminan dan dana likuiditas.
Dalam surat itu, BPPN menyebut selama ini bank telah menerima dana likuiditas dari pemerintah guna menjaga kelangsungan dunia usaha. Selain itu bank juga dinyatakan telah menerima dana penjaminan sebagai pembayar kewajiban bank pada pihak ketiga. disebutkan pula dana likuiditas dan dana penjaminan tersebut akan ditetapkan kemudian oleh BPPN berdasarkan penelitian BPPN sendiri.
Menurut catatan sebuah konsultan hukum, SKA tadi mencerminkan dominasi salah satu pihak atas pihak lainnya. Padahal, kesepakan harus berdasarkan persetujuan dan dibuat kedua belah pihak dengan asas fair serta reasonable, dan tidak boleh ada unsur paksaan.
Dia menyebutkan, berdasarkan pengertian tersebut SKA itu dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Ini berkaitan dengan ketentuan kebebasan bersepakat yang dijamin KUHPerdata dan KUHPidana.
Legal opinion juga menyoroti, antara lain, hal yang berkaitan dengan upaya pengelolaan kekayaan pemegang saham bank. SKA menyatakan sejak tanggal penandatangan SKA sampai penandatangan perjanjian penyelesaian, pemegang saham serta pihak terafiliasi tidak dapat mengambil tindakan apa pun terhadap kekayaan pemegang saham. Kecuali mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari BPPN.
Menurut catatan konsultan hukum itu, dengan demikian tidak boleh ada perubahan status hukum terhadap kekayaan pemegang saham dan pihak terafiliasi. Hal ini berarti pemegang saham harus mengabaikan kewajibannya kepada pihak lain, seperti kepada kreditor yang juga memiliki kekuatan mengikat secara hukum.
Posisi pemengan sahan akan sangat sulit menghadapi kewajiban-kewajibannya terhadap pihak lain yang sudah jatuh tempo. Akibatnya, pemegang saham tidak mungkin menghindari tuntutan hukum kreditor di kemudian hari.
Masalah yang sama juga akan dihadapi pihak terafiliasi. Ketentuan yang mengikat mereka tidak memungkinkan pihak terafiliasi bergerak sedikit pun. Sebab, hal itu akan menyimpang dari ketentuan, sehingga kesalahan itu akan semakin memberatkan pemegang saham.
Kesaktian BPPN dalam surat kesepakatan awal itu juga terlihat dari ketentuan yang memungkinkan BPPN melakukan tindakan hukum terhadap pemegang saham dan pihak terafiliasi di tempat kedudukannya dan tempat kedudukan kekayaan pemegang saham, di dalam maupun luar negeri. Bila langkah ini diperlukan maka pemegang saham dan pihak terafiliasi terpaksa harus setuju-setuju saja.
Seorang bankir mengungkap pemegang saham seolah dipaksa bertanggung jawab atas utang yang belum pasti ada dengan jumlah tidak diketahui. Karena itu, dia usul agar materi SKA dapat direvisi dan merupakan hasil pembicaraan bersama antara BPPN dan bankir.
Lantas, apa kata BPPN? Staf agency secretary BPPN, Franklin Richard. "SKA adalah salah satu bukti iktikad baik bankir untuk bersedia menyelesaikan kewajibannya jika hasil due diligence BPPN memang menunjukkan 'sesuatu' yang harus diselesaikan bankir," ujarnya.
"BPPN akan menggunakan akurasi data dan tahapan pertimbangan sebelum ambil keputusan. Untuk itu, sikap kooperatif bankir sangat membantu jika maslalahnya ingin cepat selesai. Mereka tak perlu khawatir secara berlebihan. BPPN hanya ingin mengembalikan uang negara. Bukan mau bunuh bankir," tambah Franklin. (Arie Apriadi/Bambang Agus Utomo/U-2)
Posisi pemengan sahan akan sangat sulit menghadapi kewajiban-kewajibannya terhadap pihak lain yang sudah jatuh tempo. Akibatnya, pemegang saham tidak mungkin menghindari tuntutan hukum kreditor di kemudian hari.
Masalah yang sama juga akan dihadapi pihak terafiliasi. Ketentuan yang mengikat mereka tidak memungkinkan pihak terafiliasi bergerak sedikit pun. Sebab, hal itu akan menyimpang dari ketentuan, sehingga kesalahan itu akan semakin memberatkan pemegang saham.
Kesaktian BPPN dalam surat kesepakatan awal itu juga terlihat dari ketentuan yang memungkinkan BPPN melakukan tindakan hukum terhadap pemegang saham dan pihak terafiliasi di tempat kedudukannya dan tempat kedudukan kekayaan pemegang saham, di dalam maupun luar negeri. Bila langkah ini diperlukan maka pemegang saham dan pihak terafiliasi terpaksa harus setuju-setuju saja.
Seorang bankir mengungkap pemegang saham seolah dipaksa bertanggung jawab atas utang yang belum pasti ada dengan jumlah tidak diketahui. Karena itu, dia usul agar materi SKA dapat direvisi dan merupakan hasil pembicaraan bersama antara BPPN dan bankir.
Lantas, apa kata BPPN? Staf agency secretary BPPN, Franklin Richard. "SKA adalah salah satu bukti iktikad baik bankir untuk bersedia menyelesaikan kewajibannya jika hasil due diligence BPPN memang menunjukkan 'sesuatu' yang harus diselesaikan bankir," ujarnya.
"BPPN akan menggunakan akurasi data dan tahapan pertimbangan sebelum ambil keputusan. Untuk itu, sikap kooperatif bankir sangat membantu jika maslalahnya ingin cepat selesai. Mereka tak perlu khawatir secara berlebihan. BPPN hanya ingin mengembalikan uang negara. Bukan mau bunuh bankir," tambah Franklin. (Arie Apriadi/Bambang Agus Utomo/U-2)