Entah kenapa, setiap akhir bulan Ramadhan, sejak Lebaran
delapan tahun yang lalu, saya sangat sulit mengucapkan ”mohon maaf lahir batin.”
Masalahnya bukan segi lahir dari maaf itu. Tinggal kirim SMS dan lunaslah sudah kewajiban sosial saya.
Masalah muncul ketika saya “memikirkan” segi batin itu. Setiap kali saya mencoba
merenungkan artinya,saya selalu diliputi rasa pilu, pedih, gundah. Saya mencoba
mulat sarira, mawas diri, tetapi selalu terganggu pada bayangan sosok perempuan yang pernah jadi bagian dari
keseharian saya. Terlebih apabila peruntungan saya dibandingkan dengan nasib
buruk yang dialami perempuan yang sederhana itu.
Kini, izinkan saya memohon maaf, secara batin kepada kau,
Siti”
Baru sekarang ini, delapan tahun kemudian, saya dapat
memanggilmu dengan kata “kau”. Dari “rumahmu”,
nun jauh di sana, kau pasti mengerti, kan? Ketika kau pergi, pada waktu itu,
kau hanya pamit mudik. Kau pulang untuk mengunjungi tanah leluhurmu,
membersihkan batu nisan suamimu, dan berdoa sejenak dengan keyakinan ayat
sucimu. Kau mencari jalinan-jalinan yang bisa mendekatkan kau dengan anak,
kerabat, tetangga, pendeknya segenap memori yang masih kau anggap memberikan
arti kepada kehidupanmu.
Namun, kau ini memang ”bodoh”, Siti! Kau selalu abai mengikuti
”perintah” saya untuk memakai helm? Selain itu, bukankah kau belum terlalu
pandai menaiki sepeda motor? Apabila mengegas mesinnya, bukankah kau selalu
lakukan terlampau tiba-tiba sehingga Honda itu kerap melesat tanpa kendali. Maka,
tak mengherankan apabila mudikmu itu menjadi bencana. Ketika melewati jembatan
kecil dari bambu, kau terjatuh. Yang menampung tubuhmu hanyalah seonggok batu.
Seketika darah yang menderas dari kepalamu mengalir larut dengan air bening
gunung tempat kelahiranmu.Kala itu nasib kau memang naas, Siti. Kau juga menjadi
korban ritual kesopanan berlebaran: dokter puskesmas tempat kau digotong tidak
ada. Sibuk dengan “mohon maaf lahir batin”, entah menghadap pejabat atau
bersilaturahim entah ke mana. Dua jam kemudian, dirimu adalah jasad tanpa
nyawa.
Satu hari kemudian, di sela secuil berita duka di telepon dan
tangisan sana-sini, kau telah bersanding
dekat ayah-ibumu di bawah selapis tanah kering. Bagi kami sekeluarga, kau telah
tiba-tiba lenyap, tanpa kami sempat mengucapkan “mohon maaf lahir batin”.
Kini di mana pun arwah kau berada, ingin saya haturkan “mohon
maaf” kepada kau, Siti, meski secara batin saja. Saya baru sadar betapa awamnya
saya tentang dirimu? Sebelum peristiwa itu, nama desa kelahiran kau tak pernah
saya risaukan di mana berada! Nama putrimu saya tidak tahu, seperti pula kisah
kegagalan cintamu! Yang pernah saya tahu dari kau, Siti, hanya kopi yang kau
sajikan, celana yang kau setrika, dan kasur lusuh di mana kau rebahkan tubuh
penatmu. Rutinitas-rutinitas yang membuat kemiskinan kau tampil sebagai tanda
kekayaan saya. Ya! Memang, meskipun dulu kau hadir secara fisik sejatinya kau
tidak “eksis” di luar tingkahku. Kau adalah pembantu, Siti. Hanya “berhak” menampung
kemarahan dan melayani kebutuhan. Tak
boleh benar-benar “memiliki”, “menghendaki”, atau menertawakan apa pun. Dan,
kini kamu telah hilang, nyaris tak berbekas di kenanganku, selain pada hari
Lebaran!!! Maka, izinkanlah saya mohon maaf kepada kau.
Apakah aku tiba-tiba
insaf? Renungan tentang nasib kau yang mati ini memunculkan di benakku gambaran
dari ratusan ribu saudarimu yang tengah berjejalan menempuh jalan-jalan menuju
kota. Pulang dari mudik. Beberapa akan mati, sebagian besar akan hidup, tetapi
hidup untuk “melayani”. Melayani orang yang seperti aku, terus berceloteh soal keadilan sosial
dan kemanusiaan, tanpa terlalu peduli bagaimana mengamalkannya.
Maka, sekali lagi saya mohon maaf kepada kau, Siti, dan
sebagai majikan, kepada semua pembantu dan wong cilik yang seolah tak eksis
itu. (JEAN COUTEAU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar