Minggu, 30 November 2014

PRT MIGRAN HARUS BERSERTIFIKAT

JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah menargetkan pada tahun 2017 seluruh pekerja rumah tangga migran sudah mengalami reorientasi jabatan dari informal ke formal. Hal ini bertujuan agar pekerja tersebut berdaya saing dan memiliki posisi tawar lebih.

Hal itu disampaikan Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja Kementerian  Ketenagakerjaan Reyna Usman dalam diskusi bertema  "Revitalisasi dan Perbaikan Tata Kelola Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri". di Jakarta, Senin  (17/11). Sejumlah persiapan peningkatan keahlian akan diserahkan kepada balai latihan kerja (BLK) dan lembaga kursus.

"Saat ini, lebih dari 200 BLK berdiri di daerah. Jumlah lembaga kursus keahlian juga masih belum dihitung secara rinci. Kami akan melakukan pemetaan jumlah keseluruhan BLK atau pun lembaga kursus terlebih dahulu," ujar Reyna. 

Bagi daerah yang belum memiliki BLK, pemerintah pusat akan mendirikannya. Lokasi BLK tidak boleh jauh dari kantong wilayah pemasok pekerja rumah tangga (PRT) migran. Setelah itu, akan dilihat program-program pelatihan BLK dan lembaga kursus tersebut. Calon PRT migran harus mengikuti pelatihan yang berbasis pada jabatan kerja mereka di negara tujuan, seperti pengasuh bayi, pengurus taman, dan juru masak.

"Mereka harus mendapatkan sertifikat atas keahlian yang diperoleh sesudah selesai mengikuti pelatihan," ungkap Reyna. 

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Tenaga Kerja Benny Soetrisno menyampaikan, perlu standar kompetensi bagi PRT migran yang akan diberangkatkan. Peran Badan Nasional Sertifikasi Profesi harus digiatkan. 

"Masyarakat ekonomi ASEAN dan pasar bebas global sudah di depan mata. Jangan sampai tenaga kerja Indonesia, baik PRT migran maupun tidak, kalah kompeten," tutur Benny.

Perlindungan
Namun, menurut Analis Kebijakan Migrant Care Wahyu susilo, perlindungan PRT tetap merupakan prioritas utama. Dia menilai sejauh ini produk legislasi lebih banyak berbicara soal penempatan. 

"Kami mendorong DPR segera meyelesaikan revisi Undang-Undang  Nomor 39  Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Undang-Undang ini masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) sejak  2012. Kami harap bisa segera dipercepat pembahasannya," kata Wahyu.  

Selain undang-undang itu, pihaknya juga mendorong agar RUU Perlindungan PRT segera dibahas dan disahkan. Proses ratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) 189 tentang Kerja Layak PRT juga harus segera diselesikan. Ratifikasi Konvensi ILO 189 menjadi payung hukum keberadaan RUU PRT. Dalam konvensi diatur mengenai hal-hak PRT.

Hal senada diungkapkan Koordinator For Migrant Indonesia Jamaludin Suryahadikusuma. "Perlindungan PRT migran sebelum diberangkatkan belum pernah dievaluasi," ungkapnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, Jamaludin melihat lembaga pengirim PRT migran sudah bersosialisasi ke sekolah menengah atas. "Tidak heran apabila kualitas latar belakang pendidikan PRT migran tetap saja kurang," ujarnya.   

Jamaludin menyebutkan, tenaga kerja Indonesia pada 2010 berjumlah 575.804 orang dan pada 2011 tercatat 586.802 orang. Tahun 2012, jumlahnya 494.609 orang dan tahun 2013 sebanyak 512.168.

Wahyu menambahkan, pemerintah perlu mengevaluasi perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) serta pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS).

Pada Maret 2014, pemerintah telah memberikan sanksi penskorsan terhadap 231 PPTKIS karena dinilai melanggar ketentuan UU No. 39/2004. (MED)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jadi Saksi Kunci, Pembantu Jessica Masuk Perlindungan Saksi Polisi

PENYIDIK Polda Metro Jaya hingga kini masih mencari penyebab pasti mengapa Jessica Kemala Wongso membuang celana jinsnya, celana yang dip...